Ada Apa Dengan Kay?

Menurut Ibnu Hajar dalam kitabnya yang kesohor, Fathul Baari fi Syarhi Sahih al-Bukhari, juz 10 halaman 129-131, kay yang dilakukan oleh Nabi saw menunjukkan bahwa metode penyembuhan dengan media bara besi itu boleh, sedangkan seandainya tidak dilakukan oleh beliau, maka itu juga belum tentu haram.

 

Ada Apa Dengan Kay?

Ada apa dengan Kay? Mengapa kay dilarang? Larangan di sini apa berarti haram? Ahli hadits Ibnu Hajar yang memiliki penjelasan cukup panjang tentang kay berpendapat bahwa larangan Nabi saw itu tidak lantas berarti haram, melainkan lebih dekat ke makruh, karena ada riwayat-riwayat lain yang menunjukkan bahwa Nabi dan para sahabat sendiri melakukan pengobatan kay. Menurut Ibnu Hajar dalam kitabnya yang kesohor, Fathul Baari fi Syarhi Sahih al-Bukhari, juz 10 halaman 129-131, kay yang dilakukan oleh Nabi saw menunjukkan bahwa metode penyembuhan dengan media bara besi itu boleh, sedangkan seandainya tidak dilakukan oleh beliau, maka itu juga belum tentu haram.
Di bagian lain Ibnu Hajar menjelaskan bahwa terapi kay sangat popular di tengah masyarakat Arab. Kay dikenal sangat ampuh menyembuhkan berbagai jenis penyakit sehingga banyak orang yang mengagungkan kay secara berlebihan dan mengarah kepada perdukunan (kahanah) sehingga kay dianggap sebagai sebab kesembuhan tanpa mengingat peranan Allah yang menciptakan kesembuhan dan mengendalikan segala sebab di alam semesta. Inilah yang membuat kay dilarang oleh Nabi saw.
Sedemikian dahsyatnya orang percaya dan mengagungkan kay sehingga orang sehatpun menginginkan terapi kay dengan keyakinan akan dapat menangkis penyakit apapun. Sikap eksesif terhadap kay mendorong sebagian ulama untuk berpendapat bahwa kay dimakruhkan untuk orang sehat, sedangkan untuk orang sakit hukumnya mubah. Menurut mereka, tindakan protektif sedemikian rupa dapat dikatakan menyalahi kodrat manusia yang diciptakan dalam keadaan rentan penyakit.
Dalam ilmu akhlak (etika Islam), sakit adakalanya diperlukan manusia agar dapat lebih memahami makna kesehatan dan kemudian lebih pandai mensyukurinya sebagai karunia Ilahi yang paling berharga. Di samping itu, dalam keadaan sakit manusia bisa lebih banyak mengingat Allah dan rajin berdoa agar mendapat kesembuhan, atau setidaknya mendapat pahala dari kesabaran menanggung rasa sakit. Nabi Ayyub as sukses menjadi manusia sejati (insan kamil) adalah karena kesabarannya dalam menjalani ujian sakit. Sebab itu, dalam suluk para sufi – seperti diajarkan Imam al-Ghazali dalam kitabnya yang monumental, Ihya’ ‘Ulumuddin,- sakitpun tetap perlu disyukuri. Allah SWT berfirman, ” Ketika manusia ditimpa kesusahan maka dia berdo’a kepada Kami, baik dalam keadaan berbaring, duduk maupun berdiri, tetapi setelah Kami hilangkan kesusahan itu darinya, maka dia berjalan (lenggang) seolah dia tidak pernah berdo’a kepada Kami untuk  kesusahan yang telah menimpanya.” (QS:10:12)

Ada faktor lain mengapa kay dimakruhkan. Masih menurut Ibnu Hajar, kay adalah teknik pengobatan yang sangat menyakiti dan menyiksa badan karena dilakukan dengan menyundutkan bara besi ke kulit hingga hangus. Sebab itu, ungkapan bahwa kay adalah obat terakhir belum tentu berarti bahwa kay adalah “senjata pamungkas” dan satu-satunya terapi yang bisa menyembuhkan berbagai jenis penyakit, melainkan lebih berarti bahwa kay tidak perlu dilakukan kecuali dalam keadaan terpaksa dan tidak ada pilihan lain, dan ini lebih relefan dengan metafora kay yang digunakan Sayyidina Ali ketika menyinggung pilihan perang.  Beda antara “pamungkas” dan “opsi terakhir”.  Jelasnya, Sayyidina Ali belum tentu mengandalkan perang, walaupun ampuh. Beliau boleh jadi lebih mengandalkan negosiasi dan pendekatan persuasif, tetapi nyatanya beliau memilih alternatif perang dan represif-defensif setelah dipaksa oleh keadaan.
Tentang hukum kay, Allamah al-Majlisi dalam kitab Bihar al-Anwar jilid 59 halaman 135-137 lebih banyak mengutip komentar Ibnu Hajar perihal saling silang riwayat tentang kay.  Dalam kitab Wasail, al-Hur al-‘Amili juz 25 bab Nabdzatun mimma Yanbaghi at-Tadawi bihi , juga kitab Bihar al-Anwar karya al-‘Allamah al-Majlisi juz 59 bab Fi istirqa’ al-Maridh, serta kitab Tib al-a’immah bab ‘Audhah ‘inda al-hijamah disebutkan riwayat dari Ibrahim bin Abdurrahman dari Ishaq bin Hisan dari Isa bin Yasyar dari Ibnu Miskan dari Zararah bahwa Imam Abu Jakfar al-Baqir berkata, “Pengobatan Arab ada tiga jenis yaitu, bekam (hijamah), injeksi (huqnah), dan pengobatan terakhir adalah kay.”
Imam Abu Jakfar membolehkan kay asalkan memang aman dan tidak malah merugikan tubuh. Dalam kitab Da’a’imul Islam karya Qadhi Nu’man al-Maghribi bab Zdikrul ‘Ilaj wad Dawa’ disebutkan riwayat yang amat jelas bahwa Imam Abu Jakfar membolehkan terapi kay sambil menyebutkan sebab adanya larangan. Tokoh paling alim pada zamannya itu berkata, “Tidak ada masalah (la ba’sa) dengan terapi kay, adapun adanya larangan adalah karena dikhawatirkan berbahaya atau dapat menyimpangkan makhluk Allah. Sedangkan jika tidak demikian dan dengan harapan untuk penyembuhan maka tidak masalah.”
Dari pernyataan Imam Muhammad al-Baqir ini jelas sekali dua sebab mengapa kay dilarang atau makruh. Pertama adalah jika ada kekhawatiran berbahaya karena menggunakan bara besi. Kedua adalah jika kay disakralkan sebagai  “jurus sakti” yang dapat menimbulkan persepsi yang mengabaikan peranan “Sang Maha Penyembuh” sehingga mengarah kepada syirik. Naudzubillah min dzalik

Pos ini dipublikasikan di Terapi Kay. Tandai permalink.

Tinggalkan komentar